BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB) merupakan
suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara
akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer,
radiks, dan nervus kranialis. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi
antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode
42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan
insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara
usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2
tahun. Pada pasien yang mengalami miastenia gravis akan rentan terhadap
komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya:
kegagalan jantung, kegagalan pernapasan, infeksi dan sepsis, trombosis vena,
serta emboli paru, oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap
kasus ini.
B.
Permasalahan
Permasalahan yang timbul sehingga disusunnya asuhan keperawatan ini adalah bagaimana seharusnya tindakan
asuhan keperawatan pada sistem persarafan dengan kasus Guillan Barrre Sindrome
(GBS)?
C.
Tujuan
Tujuan disusunnya asuhan
keperawatan ini adalah:
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi kegiatan belajar mengajar dari
mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II
(KMB II).
2. Tujuan Khusus
a.
Memperoleh gambaran mengenai Guillan Barrre Sindrome (GBS).
b.
Dapat memahami tentang konsep asuhan
keperawatan pasien dengan Guillan Barrre Sindrome (GBS).
D. Manfaat
Manfaat dari penyusunan asuhan keperawatan ini, yaitu:
1.Kegunaan Ilmiah
a.
Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa
b.
Sebagai salah satu tugas akademik
2.
Kegunaan Praktis
Bermanfaat bagi
tenaga perawat dalam penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan Guillan Barrre Sindrome (GBS).
BAB II
KONSEP MEDIS
A.
Pengertian
Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB) adalah
proses peradangan akut dengan karakteristik kelemahan motorik dan paralisis
yang disebabkan karena demylin pada sarat perifer. Sindrom penyakit ini berupa
paralisis flaccid asenden simetris yang berkembang secara cepat, biasanya
mengikuti infeksi virus. Pada kondisi ini peran perawat adalah memberikan
perawatan proses rehabilitasim mencegah komplikasi, memenuhi kebutuhan ADL dan
support emosional.
Sedangkan menurut Parry mengatakan bahwa, GBS adalah suatu polineuropati
yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu
setelah infeksi akut. Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus
kranialis.
Guillan Barre Syndrome (GBS) mempunyai banyak sinonim (istilah lain),
antara lain :
1.
Polineuritis akut pasca infeksi
2.
Polineuritis akut toksik
3.
Polineuritis febril
4.
Poliradikulopati,dan
5.
Acute ascending paralysis.
B.
Sejarah
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama
kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis
diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan
kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan
tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal
(CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB
dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder
mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala
klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat
membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada
EMG.
C.
Epidemiologi (Insidensi)
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim.
Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim
gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun
didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan
dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan
Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus
per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo
Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000
orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun.
Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan
adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama
jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah
kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok
ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian
Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I,
II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan
wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa
perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5
tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian
musim hujan dan kemarau.
D.
Klasifikasi
Beberapa varian dari
sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1.
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2.
Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3.
Acute motor axonal neuropathy
4.
Acute motor sensory axonal neuropathy
5.
Fisher’s syndrome
6.
Acute pandysautonomia
E.
Etiologi
Secara pasti penyebab GBS
tidak diketahui, namun diduga berkaitan dengan :
1.
Penyakit akut, trauma, pembedahan dan imunisasi 1-4 minggu sebelum tanda
dan gejala GBS (15% dari kasus)
2.
Di dahului Infeksi saluran pernapasan akut, penyakit gastrointestinal (50%
dari kasus)
3.
Reaksi immunologi
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang
(bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam
jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus
dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan
(fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain
akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell =
APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah
itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan
pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi
sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk
mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan
mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan
TNF dan komplemen.
4.
Kehamilan atau dalam masa nifas
5.
Dahulu diduga penyakit ini disebabkan oleh virus tetapi tidak ditemui pada
pemeriksaan patologis. Teori sekarang ini mengatakan bahwa SGB disebabkan oleh
kelainan immunobiologik.
Mekanisme bagaimana
infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi
akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat
kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui
mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah:
1.
Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi
terhadap sistem saraf tepi
3.
Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf
tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral
yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah
infeksi virus.
Pada pemeriksaan
makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan
mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa
edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul
pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat
beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas,
poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan
selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh
enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan
bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang
ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini
segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan
berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag
yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan
dan akson.
F.
Patofisiologi
Kerusakan myelin diantara Node of Ranvier ditemukan pada sebagian besar
kasus GBS, sehinga konduksi impuls akan lambat dan terganggu. Myelin berfungsi
menghantarkan impuls yang pada respon motorik berasal dari otak. Keadaan ini
mengakibatkan kelemahan/paralisi pada ekstermitas bawah kemudian berjalan ke
tubuh bagian atas. Bila terjadi kompresi dan demyelin pada saraf bagian
interkosta dan diafragma maka berpotensi terhadap gangguan pernapasan.
Kerusakan myelin menurut beberapa teori disebabkan karena infiltrasi virus
ke spinal dan terkadang pada akar-akar saraf kranial, yang kemudian menimbulkan
respon peradangan. Pada tanda awal terjadi edema, kompresi akar saraf sampai
terjadi kerusakan myelin. Teori lain mengatakan bahwa kerusakan myelin karena
respon autoimun dari tubuh yang disebabkan oleh toksin atau agen infeksi.
Fase Sindroma Guillain
Barre.
1.
Fase Progresif
Fase ini dimulai dari terjangkit penyakit. Selama fase ini kelumpuhan
bertambah berat sampai mencapai maksimal, belangsung beberapa hari sampai 4
minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.
2.
Fase Plateau
Fase ini telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini biasanya hanya 2
hari samapi 3 minggu.
3.
FaseRekonvalesen(perbaikan)
Fase ini ditandai dengan terjadi perbaikan kelumpuhan ekstremitas yang
berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalan penyakit Sindroma Guillain
Barre ini biasanya berlangsung dalam kurun 6 bulan.
G.
Manifestai Klinik
1.
Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower
motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua
ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak
atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai
secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau
arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat
dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih
berat dari bagian proksimal (2,4).
2.
Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga
bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya
minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan.
Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas
proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu
aktifitas fisik.
3.
Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan
otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi
bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf
kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat
terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan
berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan
pernafasan karena paralisis n. laringeus.
4.
Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan
tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi
merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya
keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia
urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu
atau dua minggu.
5.
Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal
bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh
paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada
10-33 persen penderita .
6.
Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang
menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak
berkurang
H.
Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam
cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam
cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein
dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai
puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun
demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein
dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia
pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate
Antidiuretik Hormone).
2. Pemeriksaan
elektromyography (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :
a.
Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
b.
Distal motor retensi memanjang
c.
Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada
segmen proksimal dan radiks saraf.
d.
Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga
berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial
denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh
sempurna .
3. Test Fungsi Paru
Menurunnya kapasitas vital, perubahan nilai AGD (penurunan PaO2,
meningkatnya PaCO2 atau peningkatan pH).
I.
Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dilakukan pada pasien dengan kasus guillan barre
syndrom, yaitu:
1.
Perawatan pernapasan seperti antispasi kegagalan pernapasan, persiapan
ventilator dan pemeriksaan AGD
2.
Monitoring hemodinamik dan kardiovaskuler
3.
Management bowel dan bladder
4.
Support nutrisi
5.
Perawatan immobilisasi
6.
Plasmapheresis seperti penggantian plasma untuk meningkatkan kemampuan
motorik
7.
Pengobatan dengan pemberian kortikosteroid, immunosuppressive dan
antikoagulan
8.
Pembedahan tracheostomy dan indikasi kegagalan pernapasan
J.
Komplikasi
Kemungkinan komplikasi yang muncul pada pasien dengan guillan barre
syndrom, yaitu:
1.
Kegagalan jantung
2.
Kegagalan pernapasan
3.
Infeksi dan sepsis
4.
Trombosis vena
5.
Emboli paru
6.
Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretik Hormon (SIADH).
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
1. Riwayat kesehatan
a.
Riwayat kejadian/gejala
b.
Riwayat ISPA, pembedahan dan imunisasi
c.
Riwayat hepatitis dan influenza
2. Pemeriksaan fungsi tubuh
a. Fungsi motorik
1) Kelemahan otot yang
menjalar ke atas
2) Paresthesia, atropi otot
b. Saraf cranial
Kelemahan saraf fasial
(VII), glossopharegeal (IX), vagus (X) menyebabkan kelemahan otot wajah,
disphagia, distrimia dan gangguan jantung.
c. Refleks
Tidak adanya reflek tendon
dalam
d. Fungsi pernapasan
Bunyi napas berkurang,
ekspansi paru berkuran.
e. Fungsi jantung
Sinus takhikardia,
bradikardia, distrimia.
3. Pemeriksaan psikososial
a. Rasa kecemasan, ketakutan
dan panic
b. Intonasi bicara lambat
c. Penampilan fisik
d. Kemampuan kognitig
B.
Diagnosa
Kemungkina diagnosa yan akan timbul pada pasien dengan Guillan Barre Sidrome,
yaitu:
1.
Tidak efektifnya pola napas, tidak efektifnya bersihan jalan napas,
kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan atau
paralisis, berkurangnya refleks batuk, immobilisasi.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
a.
Pasien mengatakan kesulitan bernapas.
b.
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mengalami penurunan kesadaran.
Data Objektif (DO):
a.
Pasien terlihat kesulitan bernapas.
b.
Berkurangnya bunyi napas.
c.
Perubahan nilai AGD.
d.
Perubahan warna kulit (pucat)
e.
Penurunan kesadaran.
f.
Perubahan frekuensi pernapasan, napas pendek.
g.
Penumpukan sekret.
2.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis, ataksia.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien mengatakan kelemahan dan paresthesia.
Data Objektif (DO):
a.
Ketidakmampuan melakukan aktivitas.
b.
Adanya kelemahan otot yang menjalar ke atas.
c.
Kekuatan otot menurun.
d.
Atropi.
e.
Hilangnya sensori.
f.
Hilangnya refleks tendon.
3.
Resiko ganggua integritas kulit: dekubitus berhubungan dengan kelemahan
otot, paralisis, gangguan sensasi, perubahan nutrisi, inkontinensia.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien mengatakan kelemahan dan paresthesia.
Data Objektif (DO):
a.
Ketidakmampuan melakukan aktivitas.
b.
Adanya kelemahan otot yang menjalar ke atas.
c.
Kekuatan otot menurun.
d.
Atropi.
e.
Hilangnya sensori.
f.
Hilangnya refleks tendon.
g.
Perubahan nutrisi.
h.
Inkontinensia.
4.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan
mengunyah, menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
a.
Pasien menyatakan tidak bisa mengunyah dan menelan.
b.
Pasien mengatkan tangannya tidak bisa digerakkan.
Data Objektif (DO):
a.
Ketidakmampuan melakukan aktivitas.
b.
Terpasang NGT
c.
Diet makan, nilai gizi.
d.
Berat badan menurun.
e.
Nilai albumin dan Hb.
f.
Tanda-tanda kekurangan gizi.
g.
Adanya mual.
h.
Intake makanan yang masuk tidak sesuai dengan porsi.
5.
Gangguan eliminasi: konstipasi, diare, berhubungan dengan tidak adekuatnya
intake makanan, immobilisasi.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien mengatakan tidak dapat BAB ataupun terjadi diare.
Data Objektif (DO):
a.
Ketidakmampuan melakukan aktivitas/ kurang mobilisasi.
b.
Adanya kelemahan otot yang menjalar ke atas.
c.
Kekuatan otot menurun.
d.
Pola BAB di rumah.
e.
Meningkat atau menurunnya bising usus.
f.
Diet rendah serat.
g.
Feses keras atau cair.
6.
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisi saraf kranial VII,
trakeostomi.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mengalami hambatan dalam berbicara.
Data Objektif (DO):
a.
Kesulitan dalam komunikasi.
b.
Pengguanaan bahasa isyarat.
c.
Paralisis saraf fasialis.
d.
Adanya trakeostomi.
7.
Tidak efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya.
Data Subjektif (DS):
Kelurga pasien mengtakan bahwa pasien mengalami kesulitan tidur.
Data Objektif (DO):
a.
Apatis.
b.
Sensitif.
c.
Menarik diri.
8.
Kurangnya pengetahuan pasien/keluarga berhubungan dengan penyakit,
pengobatan, prognosis dan perawatannya.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien/ keluarga menyatakan tidak mengetahui penyakitnya.
Data Objektif (DO):
a.
Pasien/ keluarga tidak kooperatif dalam perawatan pasien.
b.
Pasien/ keluarga menanyakan tentang penyakitnya.
C.
Intervensi
No
|
Diagnosa Keperawatan
|
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1.
|
Tidak efektifnya pola
napas, tidak efektifnya bersihan jalan napas, kerusakan pertukaran gas
berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan atau paralisis, berkurangnya
refleks batuk, immobilisasi.
|
Kriteria Hasil:
1.
Pernapasan optimal
2.
Bunyi napas normal.
3.
Jalan napas paten.
4.
Nilai AGD dalam batas normal.
|
1.
Monitor jumlah pernapasan, irama dan kedalamannya setiap 1-4 jam.
2.
Auskultasi bunyi napas setiap setiap 4 jam.
3.
Pertahankan kepatenan jalan napas, suction dan bersihkan mulut.
4.
Bantu pasien untuk batuk efektif.
5.
Lakukan fisioterapi dada.
6.
Kolaborasi dalam pemberian O2.
7.
Monitor AGD.
8.
Kaji tingkat kesdaran dan warna kulit.
|
1.
Paralisis pernapasan dapat terjadi 48 jam.
2.
bunyi napas indkasi adekuatnya ventilasi.
3.
Jalan napas paten.
4.
Meningkatkan kepatenan jalan napas.
5.
Mencegah pneumonia dan atelaktasis.
6.
Pemenuhan kebutuhan oksigen.
7.
Mengetahui perubahan oksigen dalam darah.
8.
Perubahan AGD akan mempengaruhi tungkat kesadaran dan warna kulit.
|
|
2.
|
Gangguan mobilitas fisik
berhubungan dengan paralisis, ataksia.
|
1.
Pasien partisipasi dalam perawatan.
2.
Mobilisasi aktif atau pasif.
3.
Tidak terdapat komplikasi berhubungan dengan immobilitas.
|
1.
Kaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam.
2.
Kaji derajat ketergantungan pasien.
3.
Kaji saraf kranial setiap 4 jam.
4.
Bantu ambulasi pasien.
5.
Kaji kemungkinan komplikasi, misalnya: tromboli paru atau radang paru.
6.
Lakukan alih posisi setiap 2 jam.
7.
Lakukan ROM.
8.
Pertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan
tungkai.
9.
Gunakan footboard untuk mengganjal tumit.
10.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat: kortikosteroid, heparin,
antibiotik, immunosupresi.
|
1.
Paralisi otot dapat terjadi dengan cepat dengan pola yang makin naik.
2.
Mengidentifikasi kemampuan pasien dalam kebutuhan ADL.
3.
Saraf yang mungkin tenganggu adalah Nervus Cranial Vii, IX, X, XI, XII.
4.
Menghindari cedera dan rasa aman.
5.
Mencegah komplikasi immobilisasi pemenuhan kebutuhan oksigen.
6.
Menghindari dekubitus.
7.
Mencegah atropi dan kontraktur.
8.
Bagian yang tertekan memerlukan perhatian khusus karena beresiko terjadi
dekubitus.
9.
Mencegah Foot droop dan kerusakan kulit.
10.
Menghilangkan gejala CBS.
|
|
3.
|
Resiko ganggua
integritas kulit: dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot, paralisis,
gangguan sensasi, perubahan nutrisi, inkontinensia.
|
1.
Pasien mempertahankan kulit tetap kering dan utuh.
2.
Mempertahankan daerah yang tertekan tetap kering dan utuh, bebas dari
dekubitus.
|
1.
Kaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam.
2.
Kaji derajat ketergantungan pasien.
3.
Monitor daerah yang tertekan.
4.
Jaga kebersihan tempat tidur, lake tetap bersih, kencang dan kering.
5.
Monitor intake dan output nutrisi.
6.
Lakukan alih posisi setiap 2 jam.
7.
Lakukan ROM.
8.
Pertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan
tungkai.
9.
Lakukan massage pada daerah yang tertekan.
10.
Gunakan alat bantu untuk mencegaha penekanan.
|
1.
Paralisis otot dapat terjadi dengan cepat dengan pola yang makin naik.
2.
Mengidentifikasi kemampuan pasien dalam kebutuhan ADL.
3.
Mengidentifikasi tanda-tanda awal dekubitus.
4.
Laken yang basah, kotor, kusut memudahkan terjadinya dekubitus.
5.
Nutrisi yang adekuat mengurangi resiko dekubitus.
6.
Melancarkan aliran darah bagian yang tertekan.
7.
Mencegah atropi.
8.
Bagian yang tertekan memerlukan perhatian khusus karena berisiko terjadi
dekubitus.
9.
Memperlancar aliran darah.
10.
Mengurangi resiko dekubitus.
|
|
4.
|
Perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah, menelan,
kelelahan, paralisis ekstremitas.
|
1.
Intake makanan sesuai kebutuhan.
2.
Tidak tejadi aspirasi saat makan.
3.
Tidak terjadi tanda-tanda kurang nutrisi.
4.
Pasien toleran terhadap makanan parenteral/personde, dengan residu
minimal.
|
1.
Kaji kemampuan menelan dan mengunyah, fungsi motorik pada ekstremitas.
2.
Monitor intake dan output nutrisi.
3.
Kaji tanda-tanda kurang gizi: anemis, nilai albumin, Hb.
4.
Berikan makanan sesuai diet tinggi kalori dan tinggi protein.
5.
Berikan makanan personde dengan posisi setengah duduk atau semi fowler.
6.
Berikan posisi duduk setelah makan.
7.
Lakukan perawatan mulut sesudah dan sebelum makan.
8.
Lakukan perawatan infus untuk nutrisi parenteral setiap hari.
9.
Timbang berat badan 3 hari sekali jika memungkinkan.
|
1.
Identifiksi kemampuan makan pasien.
2.
Menentukan adekuatnya kebutuhan nutrisi pasien.
3.
Mengetahui status nutrisi pasien.
4.
Memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
5.
Menghindari terjadinya aspirasi.
6.
Menghindari refluks makanan.
7.
Meningkatnya rasa nyaman dan meningkatnya nafsu makan.
8.
Mencegah terjadinya plebitis, kepatenan infus.
9.
Mengetahui status nutrisi.
|
|
5.
|
Gangguan eliminasi:
konstipasi, diare, berhubungan dengan tidak adekuatnya intake makanan,
immobilisasi.
|
1.
Pola BAB teratur.
2.
Konsistensi feses lembek.
3.
Bising usus normal.
|
1.
Kaji pola BAB pasien.
2.
Kaji bising usus, frekuensi, intensitas.
3.
Berikan diet tinggi serat.
4.
Berikan banyak minum sesuai batas toleransi.
5.
Lakukan ROM, tingkatkan aktivitas.
6.
Jaga privasi pasien dalam BAB.
7.
Berikan obat pelembek feses: laksadin, sipposituria, laxative dan enema
dan kaji efektivitasnya.
|
1.
Menentukan perubahan pola eliminasi.
2.
Bising usus yang lemah dan lambat memungkinkan terjadi konstipasi.
3.
Meningkatkan residu makanan danmemperlancar BAB.
4.
Melancarkan atau melembekkan feses.
5.
Meningkatkan pergerakan untuk melancarakan BAB.
6.
Meningkatkan keinginan BAB.
7.
Melembekkan feses dan memudahkan pengeluaran feses.
|
|
6.
|
Gangguan komunikasi
verbal berhubungan dengan paralisi saraf kranial VII, trakeostomi.
|
1.
Pasien dapat mengekspresikan diri secara verbal dan nonverbal.
2.
Mengkomunikasikan keinginan dan kebutuhan kepada staf atau pengunjung.
|
1.
Kaji kemampuan komunikasi pasien verbal dan non verbal.
2.
Gunakan pertanyaan tertutup dengan jawaban “ya” atau “tidak”.
3.
Bicara pelan dan terjadi kontak mata.
4.
Gunakan bahasa isyarat.
5.
Konsultasikan dengan speeck terapi dalam latihan bicara.
6.
Komunikasikan kepada keluarga dan staf perawat tentang gangguan
komunikasi.
|
1.
Identifikasi kemampuan komunikasi pasien.
2.
Memudahkan pasien untuk menjawab.
3.
Komunikasi mudah dipahami.
4.
Membantu memudahkan komunikasi.
5.
Penanganan lebih lanjut.
6.
Keluarga tidak memaksakan untuk berkomunikasi secara verbal sehingga
tidak mengakibatkan rasa frustasi pada pasien.
|
|
7.
|
Tidak efektifnya koping
pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya.
|
1.
Pasien dapat mendemonstrasikan koping yang efektif.
2.
Pasien dapat memandang secara realistik tentang penyakitnya.
3.
Pasien dapat mengekspresikan perasaan kehilangan atau berespon positif
terhadap keadaan dirinya.
4.
Pasien kooperatif dan berpartisipasi dalam perawatan dirinya.
|
1.
Kaji perilaku dan mekanisme koping pasien.
2.
Gali perasaan dan ketakutan terhadap penyakitnya.
3.
Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan secara verbal tentang
gambaran masa depan.
4.
Libatkan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri sesuai
kemampuannya.
5.
Hargai kemampuan yang telah dimiliki pasien.
6.
Kolaborasi dengan psikolog/psikiater dalam meningkatkan kemampuan koping
pasien.
|
1.
Penyakit CBS dapat menimbulkan perubahan perilaku dan gaya hidup.
2.
Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaannya.
3.
Membantu menurunkan ketegangan.
4.
Pasien merasa dihargai dan meningkatkan harga diri.
5.
Meningkatkan harga diri pasien.
6.
Membantu meningkatkan koping yang positif.
|
|
8.
|
Kurangnya pengetahuan
pasien/keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan, prognosis dan
perawatannya.
|
1.
Pasien/keluarga memahami tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan
perawatannya.
2.
Pasien/keluarga kooperatif dalam perawatan.
|
1.
Kaji pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
2.
Berikan informasi verbal dan non verbal tentang penyakitnya.
3.
Berikan kesempatan pada pasien untuk bertanya.
4.
Berikan tanggapan yang positif dan realistik tentang penyakitnya.
|
1.
Mengidentifikasi tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
2.
Memahami tentang penyakitnya.
3.
Memperjelas materi yang diberikan.
4.
Memberikan motivasi dalam perawatan pasien.
|
|
D.
Implementasi
No
|
Masalah
Keperawatan
|
Tindakan
|
1.
|
Tidak efektifnya pola
napas, tidak efektifnya bersihan jalan napas, kerusakan pertukaran gas
berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan atau paralisis, berkurangnya
refleks batuk, immobilisasi.
|
1.
Memonitor jumlah pernapasan, irama dan kedalamannya setiap 1-4 jam.
2.
Mengauskultasi bunyi napas setiap setiap 4 jam.
3.
Mempertahankan kepatenan jalan napas, suction dan bersihkan mulut.
4.
Membantu pasien untuk batuk efektif.
5.
Melakukkan fisioterapi dada.
6.
Mengkolaborasi dalam pemberian O2.
7.
Memonitor AGD
8.
Mengkaji tingkat kesdaran dan warna kulit.
|
2.
|
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis, ataksia.
|
1.
Mengkaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam.
2.
Mengkaji derajat ketergantungan pasien.
3.
Mengkaji saraf kranial setiap 4 jam.
4.
Membantu ambulasi pasien.
5.
Mengkaji kemungkinan komplikasi, misalnya: tromboli paru atau radang
paru.
6.
Melakukan alih posisi setiap 2 jam.
7.
Melakukan ROM.
8.
Mempertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan
tungkai.
9.
Menggunakan footboard untuk mengganjal tumit.
10.
Mengkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat: kortikosteroid,
heparin, antibiotik, immunosupresi.
|
3.
|
Resiko gangguan integritas kulit: dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot,
paralisis, gangguan sensasi, perubahan nutrisi, inkontinensia.
|
1.
Mengkaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam.
2.
Mengkaji derajat ketergantungan pasien.
3.
Memonitor daerah yang tertekan.
4.
Menjaga kebersihan tempat tidur, lake tetap bersih, kencang dan kering.
5.
Memonitor intake dan output nutrisi.
6.
Melakukan alih posisi setiap 2 jam.
7.
Melakukan ROM.
8.
Mempertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan
tungkai.
9.
Melakukan massage pada daerah yang tertekan
10.
Menggunakan alat bantu untuk mencegah penekanan.
|
4.
|
Perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah, menelan,
kelelahan, paralisis ekstremitas.
|
1.
Mengkaji kemampuan menelan dan mengunyah, fungsi motorik pada
ekstremitas.
2.
Memonitor intake dan output nutrisi.
3.
Mengkaji tanda-tanda kurang gizi: anemis, nilai albumin, Hb.
4.
Memberikan makanan sesuai diet tinggi kalori dan tinggi protein.
5.
Memberikan makanan personde dengan posisi setengah duduk atau semi fowler.
6.
Memberikan posisi duduk setelah makan.
7.
Melakukan perawatan mulut sesudah dan sebelum makan.
8.
Melakukan perawatan infus untuk nutrisi parenteral setiap hari.
9.
Menimbang berat badan 3 hari sekali jika memungkinkan.
|
5.
|
Gangguan eliminasi:
konstipasi, diare, berhubungan dengan tidak adekuatnya intake makanan,
immobilisasi.
|
1.
Mengkaji pola BAB pasien.
2.
Mengkaji bising usus, frekuensi, intensitas.
3.
Memberikan diet tinggi serat.
4.
Memberikan banyak minum sesuai batas toleransi.
5.
Melakukan ROM, tingkatkan aktivitas.
6.
Menjaga privasi pasien dalam BAB.
7.
Memberikan obat pelembek feses: laksadin, sipposituria, laxative dan
enema dan kaji efektivitasnya.
|
6.
|
Gangguan komunikasi
verbal berhubungan dengan paralisi saraf kranial VII, trakeostomi.
|
1.
Mengkaji kemampuan komunikasi pasien verbal dan non verbal.
2.
Menggunakan pertanyaan tertutup dengan jawaban “ya” atau “tidak”.
3.
Membicarakan sesuatu dengan pelan dan terjadi kontak mata.
4.
Menggunakan bahasa isyarat.
5.
Mengkonsultasikan dengan speeck terapi dalam latihan bicara.
6.
Mengomunikasikan kepada keluarga dan staf perawat tentang gangguan
komunikasi.
|
7.
|
Tidak efektifnya koping
pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya.
|
1.
Mengkaji perilaku dan mekanisme koping pasien.
2.
Menggali perasaan dan ketakutan terhadap penyakitnya.
3.
Memberikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan secara verbal tentang
gambaran masa depan.
4.
Melibatkan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri sesuai
kemampuannya.
5.
Menghargai kemampuan yang telah dimiliki pasien.
6.
Mengkolaborasi dengan psikolog/psikiater dalam meningkatkan kemampuan
koping pasien.
|
8.
|
Kurangnya pengetahuan
pasien/keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan, prognosis dan
perawatannya.
|
1.
Mengkaji pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
2.
Memberikan informasi verbal dan non verbal tentang penyakitnya.
3.
Memberikan kesempatan pada pasien untuk bertanya.
4.
Memberikan tanggapan yang positif dan realistik tentang penyakitnya.
|
E.
Evaluasi
No
|
Masalah Keperawatan
|
Catatan Perkembangan
|
1.
|
Mencapai fungsi
pernapasan adekuat
|
1.
Menunjukan frekuensi pernapasan dan kedalaman pernapasan normal dan optimal serta kekuatan otot normal.
2.
Mentaati jadwal medikasi yang ditetapkan.
3.
Menunjukkan bunyi napas yang normal.
4.
Menunjukkan jalan napas yang paten
5.
Menunjukkan nilai AGD dalam batas normal.
|
2.
|
Beradaptasi pada gangguan mobilitas
|
1. Menetapkan program
istirahat dan latihan yang seimbang.
2. Menunjukkan partisipasi
dalam perawatan.
3. Menunjukkan mobilisasi
yang aktif.
4. Menetapkan maantaati
jadwal medikasi yang memaksimalkan kekuatan otot.
5. Tidak adanya komplikasi
berhubungan degan immobilitas yang dialami.
|
3.
|
Tidak mengalami integritas kulit (dekubitus)
|
1.
Menunjukkan kulit tetap kering dan utuh.
2.
Pasien bebas dari dekubitus akibat immobilitas aktivitas.
3.
Menetapkan jadwal alih posisi
sehingga tidak terjadi dekubitus.
|
4.
|
Kebutuhan nutrisi
terpenuhi
|
1.
Menunjukkan tanda-tanda nutrisi yang terpenuhi.
2.
Mentaati program medikasi
3.
Menunjukkan intake makanan yang baik.
|
5.
|
Kebutuhan eliminasi baik
|
1.
Menunjukkan pola BAB yang teratur.
2.
Menunjukkan konsistensi feses yang lembek.
3.
Bising usus normal.
|
BAB IV
PENUTUP
IV. 1. Kesimpulan
Guillan Barre Syndrome
atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus
kranialis. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9
kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central
Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7
per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan
antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Pada pasien
yang mengalami miastenia gravis akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang
sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: kegagalan jantung, kegagalan
pernapasan, infeksi dan sepsis, trombosis vena, serta emboli paru. Sindrom ini
dapat menyebabkan tidak efektifnya pola napas, gangguan mobilitas fisik, resiko
integritas kulit, nutrisi kurang dari kebutuhan, gangguan eliminasi serta
gangguan komunikasi verbal.
IV. 2. Saran
Guillan Barre Sindrome
dapat menyebabkan perubahan status kesehatan pada penderitanya serta dapat
menimbulkan komplikasi yang dapat memperparah kondisi prognosis pada klien
dengan kasus tersebut. Oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius
terhadap kasus ini.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2009.
Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi.
EGC: Jakarta
Guyton. 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit
Edisi Revisi. EGC: Jakarta.
Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi I.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Jukarnain. 2011. Keperawatan Medikal – Bedah gangguan Sistem
Persarafan.
Long, Barbara C. 1996. Keperawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan
Proses Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan
Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi 6. EGC: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar