Minggu, 23 November 2014

askep GBS



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Pada pasien yang mengalami miastenia gravis akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: kegagalan jantung, kegagalan pernapasan, infeksi dan sepsis, trombosis vena, serta emboli paru, oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.

B.   Permasalahan
Permasalahan yang timbul sehingga disusunnya asuhan keperawatan  ini adalah bagaimana seharusnya tindakan asuhan keperawatan pada sistem persarafan dengan kasus Guillan Barrre Sindrome (GBS)?

C.   Tujuan
Tujuan disusunnya asuhan keperawatan ini adalah:
1.    Tujuan Umum
Untuk memenuhi kegiatan belajar mengajar dari mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II (KMB II).
2.    Tujuan Khusus
a.       Memperoleh gambaran mengenai Guillan Barrre Sindrome (GBS).
b.      Dapat memahami tentang konsep asuhan keperawatan pasien dengan Guillan Barrre Sindrome (GBS).

D.   Manfaat
Manfaat dari penyusunan asuhan keperawatan ini, yaitu:
1.Kegunaan Ilmiah
a.       Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa
b.      Sebagai salah satu tugas akademik
2.      Kegunaan Praktis
Bermanfaat bagi tenaga perawat dalam penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan Guillan Barrre Sindrome (GBS).


BAB II
KONSEP MEDIS

A.   Pengertian
Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB) adalah proses peradangan akut dengan karakteristik kelemahan motorik dan paralisis yang disebabkan karena demylin pada sarat perifer. Sindrom penyakit ini berupa paralisis flaccid asenden simetris yang berkembang secara cepat, biasanya mengikuti infeksi virus. Pada kondisi ini peran perawat adalah memberikan perawatan proses rehabilitasim mencegah komplikasi, memenuhi kebutuhan ADL dan support emosional.
Sedangkan menurut Parry mengatakan bahwa, GBS adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
Guillan Barre Syndrome (GBS) mempunyai banyak sinonim (istilah lain), antara lain :
1.      Polineuritis akut pasca infeksi
2.      Polineuritis akut toksik
3.      Polineuritis febril
4.      Poliradikulopati,dan
5.      Acute ascending paralysis.

B.   Sejarah
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.

C.   Epidemiologi (Insidensi)
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

D.   Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1.      Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2.      Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3.      Acute motor axonal neuropathy
4.      Acute motor sensory axonal neuropathy
5.      Fisher’s syndrome
6.      Acute pandysautonomia

E.   Etiologi
Secara pasti penyebab GBS tidak diketahui, namun diduga berkaitan dengan :
1.      Penyakit akut, trauma, pembedahan dan imunisasi 1-4 minggu sebelum tanda dan gejala GBS (15% dari kasus)
2.      Di dahului Infeksi saluran pernapasan akut, penyakit gastrointestinal (50% dari kasus)
3.      Reaksi immunologi
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit  T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
4.      Kehamilan atau dalam masa nifas
5.      Dahulu diduga penyakit ini disebabkan oleh virus tetapi tidak ditemui pada pemeriksaan patologis. Teori sekarang ini mengatakan bahwa SGB disebabkan oleh kelainan immunobiologik.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1.      Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2.      Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3.      Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
F.    Patofisiologi
Kerusakan myelin diantara Node of Ranvier ditemukan pada sebagian besar kasus GBS, sehinga konduksi impuls akan lambat dan terganggu. Myelin berfungsi menghantarkan impuls yang pada respon motorik berasal dari otak. Keadaan ini mengakibatkan kelemahan/paralisi pada ekstermitas bawah kemudian berjalan ke tubuh bagian atas. Bila terjadi kompresi dan demyelin pada saraf bagian interkosta dan diafragma maka berpotensi terhadap gangguan pernapasan.
Kerusakan myelin menurut beberapa teori disebabkan karena infiltrasi virus ke spinal dan terkadang pada akar-akar saraf kranial, yang kemudian menimbulkan respon peradangan. Pada tanda awal terjadi edema, kompresi akar saraf sampai terjadi kerusakan myelin. Teori lain mengatakan bahwa kerusakan myelin karena respon autoimun dari tubuh yang disebabkan oleh toksin atau agen infeksi.
Fase Sindroma Guillain Barre.
1.      Fase Progresif
Fase ini dimulai dari terjangkit penyakit. Selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal, belangsung beberapa hari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.
2.      Fase Plateau
Fase ini telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini biasanya hanya 2 hari samapi 3 minggu.
3.      FaseRekonvalesen(perbaikan)
Fase ini ditandai dengan terjadi perbaikan kelumpuhan ekstremitas yang berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalan penyakit Sindroma Guillain Barre ini biasanya berlangsung dalam kurun 6 bulan.

G.   Manifestai Klinik
1.      Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4).
2.      Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3.      Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
4.      Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5.      Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .
6.      Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang

H.   Pemeriksaan Diagnostik
1.      Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).
2.      Pemeriksaan elektromyography (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah  :
a.       Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
b.      Distal motor retensi memanjang
c.       Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.
d.      Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna .
3.      Test Fungsi Paru
Menurunnya kapasitas vital, perubahan nilai AGD (penurunan PaO2, meningkatnya PaCO2 atau peningkatan pH).

I.      Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dilakukan pada pasien dengan kasus guillan barre syndrom, yaitu:
1.      Perawatan pernapasan seperti antispasi kegagalan pernapasan, persiapan ventilator dan pemeriksaan AGD
2.      Monitoring hemodinamik dan kardiovaskuler
3.      Management bowel dan bladder
4.      Support nutrisi
5.      Perawatan immobilisasi
6.      Plasmapheresis seperti penggantian plasma untuk meningkatkan kemampuan motorik
7.      Pengobatan dengan pemberian kortikosteroid, immunosuppressive dan antikoagulan
8.      Pembedahan tracheostomy dan indikasi kegagalan pernapasan

J.    Komplikasi
Kemungkinan komplikasi yang muncul pada pasien dengan guillan barre syndrom, yaitu:
1.    Kegagalan jantung
2.    Kegagalan pernapasan
3.    Infeksi dan sepsis
4.    Trombosis vena
5.    Emboli paru
6.    Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretik Hormon (SIADH).


BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

A.    Pengkajian
1.      Riwayat kesehatan
a.       Riwayat kejadian/gejala
b.      Riwayat ISPA, pembedahan dan imunisasi
c.       Riwayat hepatitis dan influenza
2.      Pemeriksaan fungsi tubuh
a.    Fungsi motorik
1)    Kelemahan otot yang menjalar ke atas
2)    Paresthesia, atropi otot
b.    Saraf cranial
Kelemahan saraf fasial (VII), glossopharegeal (IX), vagus (X) menyebabkan kelemahan otot wajah, disphagia, distrimia dan gangguan jantung.
c.    Refleks
Tidak adanya reflek tendon dalam
d.    Fungsi pernapasan
Bunyi napas berkurang, ekspansi paru berkuran.
e.    Fungsi jantung
Sinus takhikardia, bradikardia, distrimia.
3.      Pemeriksaan psikososial
a.    Rasa kecemasan, ketakutan dan panic
b.    Intonasi bicara lambat
c.    Penampilan fisik
d.    Kemampuan kognitig

B.     Diagnosa
Kemungkina diagnosa yan akan timbul pada pasien dengan Guillan Barre Sidrome, yaitu:
1.    Tidak efektifnya pola napas, tidak efektifnya bersihan jalan napas, kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan atau paralisis, berkurangnya refleks batuk, immobilisasi.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
a.       Pasien mengatakan kesulitan bernapas.
b.      Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mengalami penurunan kesadaran.
Data Objektif (DO):
a.       Pasien terlihat kesulitan bernapas.
b.      Berkurangnya bunyi napas.
c.       Perubahan nilai AGD.
d.      Perubahan warna kulit (pucat)
e.       Penurunan kesadaran.
f.       Perubahan frekuensi pernapasan, napas pendek.
g.      Penumpukan sekret.
2.    Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis, ataksia.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien mengatakan kelemahan dan paresthesia.
Data Objektif (DO):
a.       Ketidakmampuan melakukan aktivitas.
b.      Adanya kelemahan otot yang menjalar ke atas.
c.       Kekuatan otot menurun.
d.      Atropi.
e.       Hilangnya sensori.
f.       Hilangnya refleks tendon.
3.    Resiko ganggua integritas kulit: dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot, paralisis, gangguan sensasi, perubahan nutrisi, inkontinensia.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien mengatakan kelemahan dan paresthesia.
Data Objektif (DO):
a.       Ketidakmampuan melakukan aktivitas.
b.      Adanya kelemahan otot yang menjalar ke atas.
c.       Kekuatan otot menurun.
d.      Atropi.
e.       Hilangnya sensori.
f.       Hilangnya refleks tendon.
g.      Perubahan nutrisi.
h.      Inkontinensia.
4.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah, menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
a.       Pasien menyatakan tidak bisa mengunyah dan menelan.
b.      Pasien mengatkan tangannya tidak bisa digerakkan.
Data Objektif (DO):
a.       Ketidakmampuan melakukan aktivitas.
b.      Terpasang NGT
c.       Diet makan, nilai gizi.
d.      Berat badan menurun.
e.       Nilai albumin dan Hb.
f.       Tanda-tanda kekurangan gizi.
g.      Adanya mual.
h.      Intake makanan yang masuk tidak sesuai dengan porsi.
5.    Gangguan eliminasi: konstipasi, diare, berhubungan dengan tidak adekuatnya intake makanan, immobilisasi.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien mengatakan tidak dapat BAB ataupun terjadi diare.
Data Objektif (DO):
a.       Ketidakmampuan melakukan aktivitas/ kurang mobilisasi.
b.      Adanya kelemahan otot yang menjalar ke atas.
c.       Kekuatan otot menurun.
d.      Pola BAB di rumah.
e.       Meningkat atau menurunnya bising usus.
f.       Diet rendah serat.
g.      Feses keras atau cair.
6.    Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisi saraf kranial VII, trakeostomi.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mengalami hambatan dalam berbicara.
Data Objektif (DO):
a.       Kesulitan dalam komunikasi.
b.      Pengguanaan bahasa isyarat.
c.       Paralisis saraf fasialis.
d.      Adanya trakeostomi.
7.    Tidak efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya.
Data Subjektif (DS):
Kelurga pasien mengtakan bahwa pasien mengalami kesulitan tidur.
Data Objektif (DO):
a.       Apatis.
b.      Sensitif.
c.       Menarik diri.
8.    Kurangnya pengetahuan pasien/keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan, prognosis dan perawatannya.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien/ keluarga menyatakan tidak mengetahui penyakitnya.
Data Objektif (DO):
a.       Pasien/ keluarga tidak kooperatif dalam perawatan pasien.
b.      Pasien/ keluarga menanyakan tentang penyakitnya.

C.    Intervensi
No
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
1.
Tidak efektifnya pola napas, tidak efektifnya bersihan jalan napas, kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan atau paralisis, berkurangnya refleks batuk, immobilisasi.
Kriteria Hasil:
1.     Pernapasan optimal
2.     Bunyi napas normal.
3.     Jalan napas paten.
4.     Nilai AGD dalam batas normal.
1.   Monitor jumlah pernapasan, irama dan kedalamannya setiap 1-4 jam.
2.   Auskultasi bunyi napas setiap setiap 4 jam.
3.   Pertahankan kepatenan jalan napas, suction dan bersihkan mulut.
4.   Bantu pasien untuk batuk efektif.
5.   Lakukan fisioterapi dada.
6.   Kolaborasi dalam pemberian O2.
7.   Monitor AGD.
8.   Kaji tingkat kesdaran dan warna kulit.
1.   Paralisis pernapasan dapat terjadi 48 jam.
2.   bunyi napas indkasi adekuatnya ventilasi.
3.   Jalan napas paten.
4.   Meningkatkan kepatenan jalan napas.
5.   Mencegah pneumonia dan atelaktasis.
6.   Pemenuhan kebutuhan oksigen.
7.   Mengetahui perubahan oksigen dalam darah.
8.   Perubahan AGD akan mempengaruhi tungkat kesadaran dan warna kulit.
2.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis, ataksia.
1.    Pasien partisipasi dalam perawatan.
2.    Mobilisasi aktif atau pasif.
3.    Tidak terdapat komplikasi berhubungan dengan immobilitas.

1.       Kaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam.
2.       Kaji derajat ketergantungan pasien.
3.       Kaji saraf kranial setiap 4 jam.
4.       Bantu ambulasi pasien.
5.       Kaji kemungkinan komplikasi, misalnya: tromboli paru atau radang paru.
6.       Lakukan alih posisi setiap 2 jam.
7.       Lakukan ROM.
8.       Pertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan tungkai.
9.       Gunakan footboard untuk mengganjal tumit.
10.   Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat: kortikosteroid, heparin, antibiotik, immunosupresi.

1.      Paralisi otot dapat terjadi dengan cepat dengan pola yang makin naik.
2.      Mengidentifikasi kemampuan pasien dalam kebutuhan ADL.
3.      Saraf yang mungkin tenganggu adalah Nervus Cranial Vii, IX, X, XI, XII.
4.      Menghindari cedera dan rasa aman.
5.      Mencegah komplikasi immobilisasi pemenuhan kebutuhan oksigen.
6.      Menghindari dekubitus.
7.      Mencegah atropi dan kontraktur.
8.      Bagian yang tertekan memerlukan perhatian khusus karena beresiko terjadi dekubitus.
9.      Mencegah Foot droop dan kerusakan kulit.
10.  Menghilangkan gejala CBS.
3.
Resiko ganggua integritas kulit: dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot, paralisis, gangguan sensasi, perubahan nutrisi, inkontinensia.
1.    Pasien mempertahankan kulit tetap kering dan utuh.
2.    Mempertahankan daerah yang tertekan tetap kering dan utuh, bebas dari dekubitus.
1.        Kaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam.
2.        Kaji derajat ketergantungan pasien.
3.        Monitor daerah yang tertekan.
4.        Jaga kebersihan tempat tidur, lake tetap bersih, kencang dan kering.
5.        Monitor intake dan output nutrisi.
6.        Lakukan alih posisi setiap 2 jam.
7.        Lakukan ROM.
8.        Pertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan tungkai.
9.        Lakukan massage pada daerah yang tertekan.
10.    Gunakan alat bantu untuk mencegaha penekanan.
1.         Paralisis otot dapat terjadi dengan cepat dengan pola yang makin naik.
2.         Mengidentifikasi kemampuan pasien dalam kebutuhan ADL.
3.         Mengidentifikasi tanda-tanda awal dekubitus.
4.         Laken yang basah, kotor, kusut memudahkan terjadinya dekubitus.
5.         Nutrisi yang adekuat mengurangi resiko dekubitus.
6.         Melancarkan aliran darah bagian yang tertekan.
7.         Mencegah atropi.
8.         Bagian yang tertekan memerlukan perhatian khusus karena berisiko terjadi dekubitus.
9.         Memperlancar aliran darah.
10.     Mengurangi resiko dekubitus.
4.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah, menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas.
1.   Intake makanan sesuai kebutuhan.
2.   Tidak tejadi aspirasi saat makan.
3.   Tidak terjadi tanda-tanda kurang nutrisi.
4.   Pasien toleran terhadap makanan parenteral/personde, dengan residu minimal.
1.   Kaji kemampuan menelan dan mengunyah, fungsi motorik pada ekstremitas.
2.   Monitor intake dan output nutrisi.
3.   Kaji tanda-tanda kurang gizi: anemis, nilai albumin, Hb.
4.   Berikan makanan sesuai diet tinggi kalori dan tinggi protein.
5.   Berikan makanan personde dengan posisi setengah duduk atau semi fowler.
6.   Berikan posisi duduk setelah makan.
7.   Lakukan perawatan mulut sesudah dan sebelum makan.
8.   Lakukan perawatan infus untuk nutrisi parenteral setiap hari.
9.   Timbang berat badan 3 hari sekali jika memungkinkan.
1.     Identifiksi kemampuan makan pasien.
2.     Menentukan adekuatnya kebutuhan nutrisi pasien.
3.     Mengetahui status nutrisi pasien.
4.     Memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
5.     Menghindari terjadinya aspirasi.
6.     Menghindari refluks makanan.
7.     Meningkatnya rasa nyaman dan meningkatnya nafsu makan.
8.     Mencegah terjadinya plebitis, kepatenan infus.
9.     Mengetahui status nutrisi.
5.
Gangguan eliminasi: konstipasi, diare, berhubungan dengan tidak adekuatnya intake makanan, immobilisasi.
1.      Pola BAB teratur.
2.      Konsistensi feses lembek.
3.      Bising usus normal.
1.      Kaji pola BAB pasien.
2.      Kaji bising usus, frekuensi, intensitas.
3.      Berikan diet tinggi serat.
4.      Berikan banyak minum sesuai batas toleransi.
5.      Lakukan ROM, tingkatkan aktivitas.
6.      Jaga privasi pasien dalam BAB.
7.      Berikan obat pelembek feses: laksadin, sipposituria, laxative dan enema dan kaji efektivitasnya.
1.     Menentukan perubahan pola eliminasi.
2.     Bising usus yang lemah dan lambat memungkinkan terjadi konstipasi.
3.     Meningkatkan residu makanan danmemperlancar BAB.
4.     Melancarkan atau melembekkan feses.
5.     Meningkatkan pergerakan untuk melancarakan BAB.
6.     Meningkatkan keinginan BAB.
7.     Melembekkan feses dan memudahkan pengeluaran feses.
6.
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisi saraf kranial VII, trakeostomi.
1.      Pasien dapat mengekspresikan diri secara verbal dan nonverbal.
2.      Mengkomunikasikan keinginan dan kebutuhan kepada staf atau pengunjung.
1.   Kaji kemampuan komunikasi pasien verbal dan non verbal.
2.   Gunakan pertanyaan tertutup dengan jawaban “ya” atau “tidak”.
3.   Bicara pelan dan terjadi kontak mata.
4.   Gunakan bahasa isyarat.
5.   Konsultasikan dengan speeck terapi dalam latihan bicara.
6.   Komunikasikan kepada keluarga dan staf perawat tentang gangguan komunikasi.
1.     Identifikasi kemampuan komunikasi pasien.
2.     Memudahkan pasien untuk menjawab.
3.     Komunikasi mudah dipahami.
4.     Membantu memudahkan komunikasi.
5.     Penanganan lebih lanjut.
6.     Keluarga tidak memaksakan untuk berkomunikasi secara verbal sehingga tidak mengakibatkan rasa frustasi pada pasien.
7.
Tidak efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya.
1.   Pasien dapat mendemonstrasikan koping yang efektif.
2.   Pasien dapat memandang secara realistik tentang penyakitnya.
3.   Pasien dapat mengekspresikan perasaan kehilangan atau berespon positif terhadap keadaan dirinya.
4.   Pasien kooperatif dan berpartisipasi dalam perawatan dirinya.
1.   Kaji perilaku dan mekanisme koping pasien.
2.   Gali perasaan dan ketakutan terhadap penyakitnya.
3.   Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan secara verbal tentang gambaran masa depan.
4.   Libatkan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri sesuai kemampuannya.
5.   Hargai kemampuan yang telah dimiliki pasien.
6.   Kolaborasi dengan psikolog/psikiater dalam meningkatkan kemampuan koping pasien.
1.     Penyakit CBS dapat menimbulkan perubahan perilaku dan gaya hidup.
2.     Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaannya.
3.     Membantu menurunkan ketegangan.
4.     Pasien merasa dihargai dan meningkatkan harga diri.
5.     Meningkatkan harga diri pasien.
6.     Membantu meningkatkan koping yang positif.

8.
Kurangnya pengetahuan pasien/keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan, prognosis dan perawatannya.
1.   Pasien/keluarga memahami tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatannya.
2.   Pasien/keluarga kooperatif dalam perawatan.
1.   Kaji pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
2.   Berikan informasi verbal dan non verbal tentang penyakitnya.
3.   Berikan kesempatan pada pasien untuk bertanya.
4.   Berikan tanggapan yang positif dan realistik tentang penyakitnya.
1.     Mengidentifikasi tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
2.     Memahami tentang penyakitnya.
3.     Memperjelas materi yang diberikan.
4.     Memberikan motivasi dalam perawatan pasien.









D.    Implementasi
No
Masalah Keperawatan
Tindakan
1.
Tidak efektifnya pola napas, tidak efektifnya bersihan jalan napas, kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan atau paralisis, berkurangnya refleks batuk, immobilisasi.
1.      Memonitor jumlah pernapasan, irama dan kedalamannya setiap 1-4 jam.
2.      Mengauskultasi bunyi napas setiap setiap 4 jam.
3.      Mempertahankan kepatenan jalan napas, suction dan bersihkan mulut.
4.      Membantu pasien untuk batuk efektif.
5.      Melakukkan fisioterapi dada.
6.      Mengkolaborasi dalam pemberian O2.
7.      Memonitor AGD
8.      Mengkaji tingkat kesdaran dan warna kulit.
2.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis, ataksia.
1.      Mengkaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam.
2.      Mengkaji derajat ketergantungan pasien.
3.      Mengkaji saraf kranial setiap 4 jam.
4.      Membantu ambulasi pasien.
5.      Mengkaji kemungkinan komplikasi, misalnya: tromboli paru atau radang paru.
6.      Melakukan alih posisi setiap 2 jam.
7.      Melakukan ROM.
8.      Mempertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan tungkai.
9.      Menggunakan footboard untuk mengganjal tumit.
10.  Mengkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat: kortikosteroid, heparin, antibiotik, immunosupresi.
3.
Resiko gangguan integritas kulit: dekubitus berhubungan dengan kelemahan otot, paralisis, gangguan sensasi, perubahan nutrisi, inkontinensia.
1.      Mengkaji fungsi motorik dan sensorik setiap 4 jam.
2.      Mengkaji derajat ketergantungan pasien.
3.      Memonitor daerah yang tertekan.
4.      Menjaga kebersihan tempat tidur, lake tetap bersih, kencang dan kering.
5.      Memonitor intake dan output nutrisi.
6.      Melakukan alih posisi setiap 2 jam.
7.      Melakukan ROM.
8.      Mempertahankan sikap tubuh yang terapeutik pada bahu, lengan, panggul dan tungkai.
9.      Melakukan massage pada daerah yang tertekan
10.  Menggunakan alat bantu untuk mencegah penekanan.
4.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mengunyah, menelan, kelelahan, paralisis ekstremitas.
1.      Mengkaji kemampuan menelan dan mengunyah, fungsi motorik pada ekstremitas.
2.      Memonitor intake dan output nutrisi.
3.      Mengkaji tanda-tanda kurang gizi: anemis, nilai albumin, Hb.
4.      Memberikan makanan sesuai diet tinggi kalori dan tinggi protein.
5.      Memberikan makanan personde dengan posisi setengah duduk atau semi fowler.
6.      Memberikan posisi duduk setelah makan.
7.      Melakukan perawatan mulut sesudah dan sebelum makan.
8.      Melakukan perawatan infus untuk nutrisi parenteral setiap hari.
9.      Menimbang berat badan 3 hari sekali jika memungkinkan.
5.
Gangguan eliminasi: konstipasi, diare, berhubungan dengan tidak adekuatnya intake makanan, immobilisasi.
1.      Mengkaji pola BAB pasien.
2.      Mengkaji bising usus, frekuensi, intensitas.
3.      Memberikan diet tinggi serat.
4.      Memberikan banyak minum sesuai batas toleransi.
5.      Melakukan ROM, tingkatkan aktivitas.
6.      Menjaga privasi pasien dalam BAB.
7.      Memberikan obat pelembek feses: laksadin, sipposituria, laxative dan enema dan kaji efektivitasnya.
6.
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisi saraf kranial VII, trakeostomi.
1.      Mengkaji kemampuan komunikasi pasien verbal dan non verbal.
2.      Menggunakan pertanyaan tertutup dengan jawaban “ya” atau “tidak”.
3.      Membicarakan sesuatu dengan pelan dan terjadi kontak mata.
4.      Menggunakan bahasa isyarat.
5.      Mengkonsultasikan dengan speeck terapi dalam latihan bicara.
6.      Mengomunikasikan kepada keluarga dan staf perawat tentang gangguan komunikasi.
7.
Tidak efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya.
1.      Mengkaji perilaku dan mekanisme koping pasien.
2.      Menggali perasaan dan ketakutan terhadap penyakitnya.
3.      Memberikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan secara verbal tentang gambaran masa depan.
4.      Melibatkan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri sesuai kemampuannya.
5.      Menghargai kemampuan yang telah dimiliki pasien.
6.      Mengkolaborasi dengan psikolog/psikiater dalam meningkatkan kemampuan koping pasien.
8.
Kurangnya pengetahuan pasien/keluarga berhubungan dengan penyakit, pengobatan, prognosis dan perawatannya.
1.      Mengkaji pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
2.      Memberikan informasi verbal dan non verbal tentang penyakitnya.
3.      Memberikan kesempatan pada pasien untuk bertanya.
4.      Memberikan tanggapan yang positif dan realistik tentang penyakitnya.
           

E.     Evaluasi
No
Masalah Keperawatan
Catatan Perkembangan
1.
Mencapai fungsi pernapasan adekuat
1.      Menunjukan frekuensi pernapasan dan kedalaman pernapasan normal dan optimal serta kekuatan otot normal.
2.      Mentaati jadwal medikasi yang ditetapkan.
3.      Menunjukkan bunyi napas yang normal.
4.      Menunjukkan jalan napas yang paten
5.      Menunjukkan nilai AGD dalam batas normal.
2.
Beradaptasi pada gangguan mobilitas

1.      Menetapkan program istirahat dan latihan yang seimbang.
2.      Menunjukkan partisipasi dalam perawatan.
3.      Menunjukkan mobilisasi yang aktif.
4.      Menetapkan maantaati jadwal medikasi yang memaksimalkan kekuatan otot.
5.      Tidak adanya komplikasi berhubungan degan immobilitas yang dialami.
3.
Tidak mengalami integritas kulit (dekubitus)

1.      Menunjukkan kulit tetap kering dan utuh.
2.      Pasien bebas dari dekubitus akibat immobilitas aktivitas.
3.      Menetapkan jadwal alih posisi sehingga tidak terjadi dekubitus.
4.
Kebutuhan nutrisi terpenuhi

1.      Menunjukkan tanda-tanda nutrisi yang terpenuhi.
2.      Mentaati program medikasi
3.      Menunjukkan intake makanan yang baik.
5.
Kebutuhan eliminasi baik

1.      Menunjukkan pola BAB yang teratur.
2.      Menunjukkan konsistensi feses yang lembek.
3.      Bising usus normal.



BAB IV
PENUTUP

IV. 1. Kesimpulan
Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Pada pasien yang mengalami miastenia gravis akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: kegagalan jantung, kegagalan pernapasan, infeksi dan sepsis, trombosis vena, serta emboli paru. Sindrom ini dapat menyebabkan tidak efektifnya pola napas, gangguan mobilitas fisik, resiko integritas kulit, nutrisi kurang dari kebutuhan, gangguan eliminasi serta gangguan komunikasi verbal.

IV. 2. Saran
Guillan Barre Sindrome dapat menyebabkan perubahan status kesehatan pada penderitanya serta dapat menimbulkan komplikasi yang dapat memperparah kondisi prognosis pada klien dengan kasus tersebut. Oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.


DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi. EGC: Jakarta

Guyton. 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi Revisi. EGC: Jakarta.

Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi I. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Jukarnain. 2011. Keperawatan Medikal – Bedah gangguan Sistem Persarafan.

Long, Barbara C. 1996. Keperawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi 6. EGC: Jakarta.